PENGELOLAAN DANA ASURANSI SYARIAHSebelum membicarakan tentang pengelolaan dana asuransi berdasarkan syari’ah Islam, terlebih dahulu kita akan menengok kembali sedikit tentang hukum asuransi itu sendiri. Karena dari sinilah kita akan membicarakan pengelolaan dana yang sesuai dengan hukum syari’ah. Seperti diketahui, bahwa para ulama fikih (fuqaha) berbeda pendapat tentang hukum asuransi. Sebahagian mengharamkan secara mutlak, sebahagian menghalalkan secara mutlak pula, dan sebahagian yang lain merinci dimana ada beberapa jenis asuransi yang dapat dikategorikan haram. Berangkat dari pendapat yang ketiga inilah, kita akan mencoba mempelajari asuransi yang bagaimana yang pengelolaan dananya dibenarkan menurut syari’ah Islam.
Unsur-unsur HaramSecara umum, ada beberapa unsur dalam fikih muamalah yang menyebabkan suatu perbuatan dapat diharamkan. Unsur-unsur itu antara lain sebagai berikut:
1. Dhalim
Dalam hubungan kerja antara seseorang dengan yang lain tidak diperkenankan adanya unsur mendhalimi orang lain atau didhalimi oleh orang lain. Al-Qur’an menegaskan,
لا تظلمون ولا تظلمون {البقرة: 279}
Artinya: “Kamu tidak boleh mendhalimi orang lain dan tidak boleh didhalimi orang lain” (al-Baqarah; 279)
Dalam pengertian ini juga, seseorang tidak boleh membahayakan (merugikan) orang lain dan atau dirugikan oleh orang lain, Rasulullah SAW bersabda:
لا ضرر ولا ضرار {رواه ابن ماجه ومالك والدارقطنى}
Artinya: “Tidak boleh ada bahaya (kerugian) pada diri sendiri dan tidak boleh membahayakan (merugikan) orang lain”. (H.R. Ibnu Majah, Imam Malik, Imam al-Daruquthni)
2. Riba
Islam dengan tegas mengharamkan segala bentuk riba. Oleh karenanya, pengelolaan dana Asuransi Syari’ah tidak boleh mengandung unsur-unsur riba. Allah berfirman;
وأحل الله البيع وحرم الربا {البقرة: 275}
Artinya: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (al-Baqarah; 275)
3. Perjudian
Dalam bermuamalah, Islam juga melarang perjudian. Allah menegaskan;
يا أيها الذين آمنوا إنما الخمر والميسر والأنصاب والأزلام رجس من عمل الشيطان فاجتنبوه لعلكم تفلحون {المائدة: 90}
Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamer, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. (al-Maidah; 90)
4. Penipuan (gharar)
Islam juga mengharamkan praktek-praktek penipuan, khususnya dalam bidang muamalah. Nabi mengatakan,
من غشّ فليس منّا{رواه مسلم وأبو داود والترمذى وابن ماجه وابن حنبل والدارمى}
Artinya, “Siapa yang menipu, maka tidak termasuk golongan kami”. (HR. Muslim, Abu Daud, al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ibn Hambal, dan al-Darimi)
5. Risywah
Dalam hubungan seseorang dengan yang lain, Islam mengharamkan risywah, yaitu sesuatu yang dapat dipakai untuk membenarkan masalah yang batil (haram) atau sebaliknya. Dalam sebuah Hadits disebutkan,
لعن رسول الله الراشى والمرتشى {رواه أبو داود والترمذى وصححه}
Artinya, “Rasulullah melaknat orang yang memberi risywah dan yang menerima risywah”. (HR. Abu Daud dan al-Tirmidzi).
6. Barang-barang Haram
Dalam bermuamalah, misalnya jual-beli, Islam mengharamkan memperjual-belikan barang-barang yang diharamkan, baik haram untuk dikonsumsi, misalnya khamer dan babi, maupun haram untuk dibikin dan diperlakukan yang tidak proporsional, misalnya patung-patung. Nabi SAW mengatakan;
إن الله ورسوله حرّم بيع الخمر والميتة والخنزير والأصنام، وقيل يا رسول الله أرأيت شحوم الميتة فإنها تطلى بها السفن وتدهن بها الجلود ويستصبح بها الناس؟ قال: لا، هو حرام، ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم عند ذلك: قاتل الله اليهود إن الله لما حرم عليهم شحومها جملوها ثم باعوه فأكلوا ثمنه {متفق عليه}
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya mengharamkan jual beli khamer, bangkai, babi, dan patung-patung. Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, tahukah Anda tentang lemah bangkai, ia dipakai untuk mengecat kapal-kapal, untuk meminyaki kulit-kulit dan dipakai untuk penerangan (lampu) oleh banyak orang?”. Nabi SAW menjawab, “Tidak, ia adalah haram”. Nabi SAW kemudian berkata lagi, “Allah memerangi orang-orang Yahudi karena ketika Allah mengharamkan bangkai kepada mereka, mereka mencairkannya dan menjualnya, kemudian mereka memakan hasil penjualannya itu.” (Muttafaq ‘alaih)
7. Maksiat
Islam juga mengharamkan muamalah yang mengandung maksiat kepada Allah, sehingga uang yang dihasilkan dari perbuatan maksiat itu juga diharamkan pula. Abu Mas’ud al Anshari menuturkan,
نهى النبى صلى الله عليه وسلم عن ثمن الكلب ومهر البغي وحلوان الكاهن {متفق عليه}
Artinya, “Nabi Saw melarang (penggunaan) uang dari penjualan anjing, uang hasil pelacuran, dan uang yang diberikan kepada paranormal” (Muttafaq ‘alaih)
Itulah di antara beberapa unsur pokok yang menyebabkan suatu perbuatan seseorang, khususnya yang berkaitan orang lain menjadi haram.. dan tujuan unsur ini adalah yang bersifat umum saja, karena di samping itu terdapat unsur-unsur yang bersifat khusus atau rinci. Selanjutnya kembali kepada pembicaraan kita tentang pengelolaan dana asuransi yang sesuai dengan syari’ah Islam, maka secara umum dapat dikatakan bahwa segala bentuk pengelolaan dana asuransi yang tidak mengandung unsur-unsur tersebut di atas, dapat dinyatakan sesuai dengan syari’ah Islam. Untuk lebih jelasnya, kita ikuti bahasan berikut ini.
Investasi
Salah satu bentuk pengelolaan dana asuransi yang paling dominan adalah menginvestasikan dana yang terkumpul dari premi. Karena dari situ, syarikat asuransi dapat membayar klaim yang dituntut oleh nasabah. Maka pihak asuransi dapat menginvestasikan dana yang terkumpul dari premi para nasabah itu dalam bentuk investasi apa saja selama investasi itu tidak mengandung salah satu dari unsur-unsur yang disebutkan di atas tadi. Upaya untuk mengabaikan prinsip-prinsip ini –sehingga misalnya sebuah investasi mengandung salah satu dari unsur-unsur diatas- akan mengakibatkan investasi tersebut diharamkan menurut syari’at Islam.
Sekiranya investasi itu berbentuk penyertaan modal dalam sebuah perusahaan misalnya, maka pihak syarikat asuransi harus mengetahui bahwa perusahaan ini tidak memperjualberlikan barang-barang yang diharamkan. Sekiranya investasi itu mendepositokan dana yang terkumpul dari premi para nasabah, maka pihak asuransi harus mengetahui bahwa bank dimana dana asuransi didepositokan adalah bukan bank-bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil. Begitu pula usaha-usaha di mana di dalamnya terdapat unsur maksiat, meskipun hal itu boleh jade akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar, asuransi syariah tentu tidak dibenarkan untuk menginvestasikan dananya di dalam perusahaan-perusahaan tersebut. Dan demikianlah seterusnya.
Reasuransi
Di samping menginvestasikan dana asuransi yang terkumpul dari premi para nasabah, tampaknya ada usaha lain yagn dilakukan oleh pihak syarikat asuransi untuk memelihara dana tersebut, yaitu dengan cara mengasuransikan dana tersebut kepada perusahaan asuransi yang lain. Pengasuransian kembali (reasuransi) seperti ini dapat dibenarkan menurut syariah Islam selama syarikat asuransi di mana dana asuransi tersebut diasuransikan beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Sementara status syarikat asuransi yang mengasuransikan dana tersebut adalah sebagai nasabah, dan dana yang diasuransikan tersebut berstatus sebagai premi. Disinilah akad syarikat asuransi dengan pihak asuransi lain juga harus sesuai dengan syariah Islam, di mana unsur-unsur yang telah disebutkan di atas tadi tidak terdapat, seperti halnya ketika syarikat asuransi itu melakukan akad dengan nasabahnya pertama kali.
Syarikat asuransi konvensional yang mendasarkan operasinya pada prinsip komersial (tijari) di mana dana asuransi tersebut menjadi milik perusahaan sehingga ia dicuigai mengandung unsur kedhaliman (merugikan) pihak nasabah, maka asuransi yang beroperasi dengan prinsip syariah harus memodifikasi akad ini sehingga sesuai dengan syariah Islam. Misalnya bahwa kedudukan dana asuransi itu bukan menjadi milik syarikat semata-mata, tetapi menjadi sahab bersama antara syarikat dan nasabah. Wa Allah a’lam.
Ciputat, 29 Juni 2001
Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA
Guru Besar Ilmu Hadits Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ)
Pengasuh Pesantren Luhur Ilmu Hadits Darus-Sunnah Jakarta