Kalau industri perbankan di tanah air memiliki slogan ‘Ayo ke Bank’, industri asuransi sejak kurang lebih 3 (tiga) tahun terakhir ini miliki slogan yang kurang lebih sama maknanya, yaitu ‘Mari Berasuransi’. Sejak saat itu, penggunaan slogan ‘Mari Berasuransi’ secara serentak dan menyeluruh menjadi bagian yang melekat dalam setiap program kegiatan industri perasuransian di Tanah Air.
Industri asuransi di negeri kita, memang tidak sepopuler industri perbankan. Bahkan ada yang menyebut, bahwa dalam lembaga keuangan, asuransi merupakan industri kelas dua. Karenanya untuk lebih memasyarakatkan asuransi kepada masyarakat Indonesia, diperlukan upaya yang lebih keras dalam arti lebih serius, terorganisir, dan lebih menyentuh kepada aspek kebutuhan perlindungan mendasar terhadap risiko-risiko di sekitar kita. Industri asuransi di Tanah Air juga sepakat menetapkan setiap 18 November, diperingati sebagai Hari Asuransi (Insurance Day).
Mengapa industri asuransi perlu lebih memasyarakatkan asuransi? Jawabanya, pertama, karena kalau bukan pelaku bisnis asuransi sendiri siapa lagi yang harus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat untuk lebih mengenal asuransi. Kedua, sebagian besar masyarakat kita masih banyak yang belum mengenal apa itu asuransi. Menurut data yang dipublikasikan pemerintah, kurang lebih 5 persen penduduk Indonesia yang sudah memiliki asuransi.
Bandingkan dengan penetrasi asuransi di negara tetangga, seperti Malaysia. Pada 2006 lalu, sekitar 21 persen penduduknya telah berasuransi, dan untuk Singapura telah mencapai 38 persen. Jika saat ini jumlah penduduk Indonesia mencapai 250 juta orang, maka hal ini dapat dilihat sebagai domestic demand yang sangat potensial bagi pelaku bisnis asuransi di Tanah Air.
Oleh karena itu slogan yang bermakna ajakan ‘Mari Berasuransi’ sebagai suatu upaya untuk memasyarakatkan asuransi perlu sekali ditindaklanjuti oleh kalangan pelaku industri asuransi dengan berbagai kegiatan positif, pelayanan yang prima bagi para existing customer, peningkatan kualitas SDM, tata kelola bisnis yang menerapkan prinsip-prinsip good corporate governance, dan melakukan pendidikan perasuransian kepada masyarakat melalui kegiatan-kegiatan positif lainnya.
Diharapkan, slogan ‘Mari Berasuransi’ sebagai ajakan untuk lebih mengenal asuransi dan mengajak masyarakat untuk berasuransi dapat diinternalisasikan secara nyata dalam praktek bisnis dan menjadi upaya yang berkelanjutan dalam kampanye untuk meningkatkan kesadaran berasuransi kepada masyarakat serta meningkatkan citra industri asuransi termasuk mensosialisasikan kesempatan kerja dalam industri asuransi.
Dengan demikian, penetrasi industri asuransi dapat semakin meningkat dan dapat memberikan peranan dalam perekonomian, baik regional maupun nasional. Tahun 2005, industri asuransi di Tanah Air dapat mengumpulkan premi brutto sebesar Rp 45,36 triliun, tahun 2009 mencapai Rp 89.48 Trilyun (Kontan Online, 15 Maret 2010). Maka dengan tingkat pertumbuhan industri yang mencapai rata-rata 20 persen per tahun, ke depan, peranan industri asuransi terhadap perekonomian, baik regional untuk Provinsi Riau, maupun perekonomian nasional tentunya juga akan semakin besar.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, mendefiniskan asuransi sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Adapun jenis-jenis asuransi di Indonesia terdiri dari usaha asuransi (Perusahaan Asuransi Jiwa, Perusahaan Asuransi Umum, Usaha Reasuransi) dan penunjang usaha asuransi ( pialang asuransi, loss adjuster, agen asuransi), serta adanya program asuransi sosial yang diwajibkan oleh pemerintah berupa program pertanggungan wajib kecelakaan penumpang serta Program Jaminan Sosial Tenaga kerja.
Mengenai prinsip-prinsip asuransi yang mendasari praktek bisnis asuransi, yang perlu diketahui oleh para calon penerima manfaat asuransi adalah sebagaimana disebutkan dibawah ini. Sekurangnya ada 6 (enam) prinsip asuransi, yaitu :
Pertama, Prinsip Insurable Interest, adalah Hak untuk mengasuransikan yang timbul dari suatu hubungan keuangan antara tertanggung dengan obyek yang diasuransikan dan diakui secara hukum. Konkritnya jika mengasuransikan sesuatu barang (objek pertanggungan), maka barang tersebut harus jelas (insurable) dan haruslah memiliki hubungan dengan orang yang akan mengasuransikan. Sederhanannya, insurable interest adalah pihak atau orang yang akan menderita kerugian finansial jika terjadi resiko kerusakan/kehilangan pada suatu objek.
Kedua, Prinsip Utmost Goodfaith atau prinsip iktikad terbaik, yaitu suatu kewajiban positif untuk dengan sukarela mengungkapkan dengan akurat dan lengkap, semua fakta material mengenai risiko yang akan diasuransikan, baik ditanyakan atau tidak ditanyakan. Artinya calon tertanggung harus memberikan informasi yang jujur kepada perusahaan asuransi dan menjelaskan fakta barang/objek yang mungkin dapat mempengaruhi perusahaan asuransi untuk menyatakan akan menerima atau tidak rencana pertanggungan. Menyembunyikan fakta dapat mengakibatkan batalnya perjanjian asuransi. Sebaliknya bagi perusahaan asuransi juga harus menjelaskan hal-hal yang menjadi tanggungjawab pertanggungan, pengecualian-pengecualian, dan ketentuan-ketentuan lainnya.
Ketiga, Prinsip Indemnity atau prinsip ganti rugi, yaitu Perusahaan asuransi akan memberikan ganti rugi kepada tertanggung berdasarkan besarnya harga barang sesaat sebelum terjadinya kerugian. Prinsip ini menegaskan bahwa berasuransi bukan untuk mendapatkan keuntungan melainkan untuk menghindari kerugian. Sehingga perusahaan asuransi akan memberikan ganti rugi sebesar nilai kerugian yang diderita tertanggung. Contoh, dalam kasus asuransi kendaraan dengan jaminan all risk (menyeluruh), apabila kaca depan mobil yang diasuransikan mengalami kerusakan/kerugian yang dijamin dalam polis, maka perusahaan asuransi hanya bertanggungjawab untuk mengganti kaca yang rusak bukan mengganti dengan mobil baru yang sejenis.
Keempat, Prinsip Proximate Causa (yang menjadi penyebab kerugian) yaitu suatu penyebab aktif, efisien yang menimbulkan suatu rantaian kejadian yang menimbulkan suatu akibat, tanpa adanya intervensi suatu kekuatan yang mulai dan secara aktif dari sumber yang baru dan independent. Artinya, bahwa penyebab terjadinya suatu resiko haruslah diketahui dengan jelas, karena bisa saja yang menjadi penyebab suatu kerugian adalah suatu risiko yang tidak dijamin dalam polis. Misalnya, jika sebuah bangunan (gedung/rumah) diasuransikan dalam asuransi kebakaran standart, maka kerugian yang disebabkan oleh kebakaran-lah yang menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Jadi jika rumah/bangunan tersebut rusak karena kejatuhan pohon yang tumbang maka kerugian tersebut bukanlah tanggungjawab perusahaan asuransi.
Kelima, Prinsip Subrogasi yaitu perusahaan asuransi menggantikan posisi tertanggung untuk menerima hak dari pihak lain yang menyebabkan kerugian pada tertanggung setelah perusahaan asuransi membayar indemnity kepada tertanggung. Hal ini menegaskan bahwa tertanggung tidak boleh mendapatkan keuntungan ganda dari berasuransi. Misalnya pada contoh kasus asuransi kendaraan bermotor, jika kendaraan tertanggung ditabrak pihak lain maka tertanggung boleh mengajukan klaim kepada perusahaan asuransi, selanjutnya perusahaan asuransi mengambil hak tertanggung untuk menuntut pihak lain yang menabrak kendaraan tertanggung. Atau jika pihak lain yang menabrak tadi turut memberikan ganti rugi maka perusahaan asuransi bertanggungjawab atas kekurangannya saja.
Keenam, Prinsip Kontribusi, yaitu berlaku apabila ada dua perusahaan asuransi atau lebih yang menanggung risiko pada objek yang sama. Maka apabila terjada suatu kerugian, yang menjadi hak tertanggung tetaplah harus sebesar kerugian yang diderita (indemnity), selanjutnya perusahaan asuransi akan bertanggungjawab secara bersama-sama dan berbagi tanggungjawab secara proporsional sesuai dengan pertanggungan masing-masing.
Selain dari keenam prinsip asuransi diatas, sebaiknya pemegang polis atau calon nasabah juga mempelajari dengan seksama klausula-klausula dalam polis asuransi, akan lebih baik lagi jika calon nasabah menanyakan hal-hal yang sekiranya belum dipahami. Karena nasabah memiliki hak untuk mengetahui jenis-jenis petanggungan asuransi yang akan dipilih. Hal ini setidaknya dapat menghindari adanya sengketa klaim (dispute), yang seringkali muncul akibat dari tidak tersampaikannya dengan jelas mengenai ketentuan-ketentuan dalam pertanggungan asuransi.
Kiranya penjelasan diatas dapat semakin menambah wacana kita semua tentang apa itu asuransi, sehingga untuk mengajak masyarakat berasuransi akan lebih mudah jika masyarakat sudah memahaminya. Mengenal apa itu asuransi, bagaimana prakteknya, seperti apa cara kerjanya, serta apa prinsip-prinsipnya.
Saat ini pemerintah melalui Departemen Keuangan RI, mulai gencar melakukan perbaikan dalam praktek bisnis asuransi dengan mengeluarkan berbagai regulasi baik yang berkaitan dengan tata kelola usaha, permodalan, kualitas dan kuantitas SDM melalui penyediaan tenaga ahli, bahkan sampai aturan mengenai batasan tarif asuransi. Seiring dengan upaya yang dilakukan oleh pemerintah selaku regulator, kemudian diterapkannya praktek bisnis yang sehat oleh perusahaan asuransi di tanah air, semakin terdidiknya tenaga pemasar asuransi melalui tuntutan sertifikasi, serta semakin sadarnya masyarakat akan kebutuhan perlindungan asuransi, maka tidak menutup kemungkinan pelan tapi pasti industri asuransi di Indonesia dan khususnya di Propinsi Riau akan tumbuh menjadi penyokong ekonomi nasional dan regional yang handal. Mari Berasuransi!. (*)
Agus Sulih Purwanto, SE, AAAIK.
Dari RiauBisnis.com